Analisis gaya bahasa
tidak semata-mata dilakukan atas dasar ilmu gaya bahasa itu sendiri, melainkan
juga perlu melibatkan kompetensi disiplin lain. Artinya, stilistika juga
mempunyai keterkaitan dengan ilmu, teori dan cirri-ciri lain yang dianggap
relevan, seperti : teks (wacana),
hermeneutika, estetika, semiotika, dan postrukturalisme.
Stilistka
dan Analisis Teks
Secara leksikal teks
dan wacana dianggap memiliki cirri-ciri yang sama, bersifat dinamis, sedangkan
karya bersifat statis. Pendapat di atas diperkuat oleh Noth (1990: 39-40)
dengan mengatakan bahwa teks dengan wacana memiliki identitas yang sama
sehingga keduanya merupakan sinonim. Teks dan wacana hanya berbeda menurut aliran,
tradisi.
Dengan singkat
(Barthes, 1977: 39-40), teks sama dengan wacana (diskursus), berbeda dengan
karya (naskah). Hanya karya yang dapat dipegang, dihitung, dan ditaruh di rak
buku, sebaliknya teks (wacana) hanya dipegang oleh bahasa. Secara tradisional
naskah merupakan wilayah kajian filologi.
Menurut Umar Junus
(1989: 75) teks atau wacana merupakan lapangan penelitian stilistika yang sebenarnya. Atas dasar pemahaman bahwa
teks merupakan satuan bahasa terlengkap, maka teks juga merupakan objek penelitian
hermeneutika dan berbagai cara penafsiran yang lainnya. Pada dasarnya teks
tidak terdiri atas kata-kata dan kalimat, melainkan makna-makna, yang lebih
dikenal dengan struktur makna.
Hakikat wacana
ditentukan oleh antarhubungan kalimat, tetapi yang lebih penting adalah konteks
sosial dan system komunikasi secara keseluruhan.
Cirri-ciri
ketidakjelasan ambiguitas justru merupakan hakikat karya sastra yang
sesungguhnya. Dalam hubungan inilah wacana harus dipahami dari sudut
antarhubungan penulis dan pembaca, pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa,
sebagai wacana atau kominikasi intercultural.
Bahasa dan teks atau
wacana tidak dapat dipisahkan. Bahasa disusun dan ditafsirkan sebagai teks,
tetapi kemudian teks diadaptasi kembali menjadi bahasa, ditulis sebagai naskah
atau dibuang ke ranjang sampah, atau dilupakan sama sekali.
Bahasa dan teks adalah
proses daur ulang sampai akhir. Meskipun demikian, teks bukan bahasa, teks
terkandung bahkan tersembunyi di dalam bahasa. Identitasnya tampil melalui penafsiran pembaca.
Secara teoritis
pengarang adalah pembawa pesan, sebagai misi posesif sehingga tidak ada
pengarang yang dengan sengaja bermaksud untuk merusak moral masyarakat. Sudah
tentu dalam kaitanya dengan kelas sosial yang diwakilinya.
Dengan membaca karya
sastra, khususnya karya-karya yang dikategorikan sebagai memiliki kualitas,
puitika, sebagai sastra serius, adiluhung menurut pemahaman lain, diharapkan
masyarakat dapat bercermin dan kemudian bertanya pada diri sendiri, apakah
sudah melalukan tugas dan kewajiban sesuai dengan pesan dan amanat yang
disampaikan dalam karya.
Ambiguitas disebabkan
oleh makna ganda sebagai akibat adanya banyak penafsiran, sebaliknya tenunan
disebabkan oleh adanya banyak pesan sebagai akibat banyaknya subyek (narator)
yang terlibat. Di sinilah pluralisme dibangun melalui semesta budaya yang
justru tidak diketahui asal-usulnya, dan tidak perlu dicari.
Puitika
dan hermeneutika
Dalam bentuk kata kerja
hermeneuein berarti menafsirkan, dalam bentuk kata benda (hermeneua) berarti
interpretasi itu sendiri, sedangkan orang yang menafsirkan disebut Hermeneus.
Sebagai seni
interpretasi hermeneutika memperoleh maknanya yang lebih luas melalui Hermes,
dewa pembawa pesan illahi dalam mitologi yunani. Dalam tradisi Romawi disebut
Mercurius.
Dalam perkembangannya
Hermeneutika dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
- Hermeneutika Klasik
- Hermeneutika Modern