ABSTRACT
Constitution is
fundamental norm of state because it contains the vision and objectives of the
country and also propose the principles and basic rules governing the life of
the nation, state and communities. One of the main important instrument in the sistemof
state power is a judicial power. The independency of judicial power should be
maintained and protected, indeed, the accountability of judicial power must be
improved. There are 2 (two) changes period of the constitution in historical
perspective of the Indonesia public institutions, such: firstly, the changes of
constitutional changing of new order period and/or in the early days of the
order of reformation.
--------------
Keywords:
reformations of constitution, independency and accountability of judiciary
power
I.
PENDAHULUAN
Konstitusi
yang tertulis dimiliki oleh hampir sebagian besar negara modern dan konstitusi ada di seluruh negara yang demokratis. Konstitusi menjadi dasar negara
karena itu konstitusi memuat visi dan
tujuan bernegara serta juga mengemukakan
prinsip dan aturan dasar yang mengatur tata kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat
Pengaturan
berbagai prinsip yang sangat mendasar dalam suatu konstitusi seyogianya bersifat
durable karena dapat menjangkau
kebutuhan masa datang yang jauh di depan serta juga harus senantiasa
kontekstual dan kompatibel dengan kebutuhan dan dinamika perkembangan yang
terjadi di dalam negara dimaksud. Pada
titik inilah, reformasi suatu konstitusi
menjadi suatu kebutuhan dan hal yang tidak dapat dielakkan.
Salah
satu instrumen penting yang utama dalam sistem kekuasaan suatu negara adalah kekuasaan kehakiman. Instrumen dan sub sistem
kekuasaan dimaksud hanya senantiasa dijaga kemandiriannya dan ditingkatkan
akuntabilitasnya di hadapan dan dalam kaitannya dengan organ dari sub-sistem
cabang kekuasaan lainnya untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
Upaya
dan tindakan di atas ditujukan agar kekuasaan kehakiman dapat menjalankan
fungsi dan wewenangnya untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara, melindungi
hak-hak dasar warga negara, mengontrol potensi penyalahgunaan wewenang dari
kekuasaan dan menyelesaikan sengketa antar warga negara maupun antar lembaga negara
dan pemerintahan.
I.1. Perumusan Masalah :
Tulisan
ini akan mengkaji mengapa diperlukan suatu perubahan konstitusi untuk
mewujudkan kekukuasaan kehakiman yang lebih independen dan akuntabel sehingga
dapat mencapai cita-cita dan maksud pembentukan suatu negara yang seyogianya
ditujukan bagi kepentingan dan kemaslahatan rakyat, khususnya dalam konteks Indonesia
I.2. Tujuan Penelitian
Sebagaimana
lazimnya sebuah kegiatan, khususnya yang sifatnya ilmiah, maka tentunnya
“tujuan” adalah merupakan salah satu point penting yang harus diketahui.
Demikian juga halnya dengan penelitian ini. Adapun yang menjadi tujuan dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui mengapa diperlukan suatu perubahan
konstitusi untuk mewujudkan kekukuasaan kehakiman yang lebih independen dan
akuntabel sehingga dapat mencapai cita-cita dan maksud pembentukan suatu negara
yang seyogianya ditujukan bagi
kepentingan dan kemaslahatan rakyat.
II.
PEMBAHASAN
2.1. Konteks dan Peran Konstitusi
Pada
uraian di atas telah dikemukakan bahwa setiap Negara memiliki konstitusi dan sebagian besarnya
konstitusi dimaksud bersifat tertulis. Michael J Perry menyatakan:
“…
constitution … shall be the supreme law of the land…”(Larry Alexander, 1998:99).
Konstitusi dalam the usual text book juga disebut sebagai “fundamental norm or
basic law” dan juga didefenisikan sebagai”the concrete, collective condition of
political unity and social order of a particular state”.(Carl Schmitt, 2008:
59)
Secara
umum suatu konstitusi memuat beberapa hal penting yang lazim diatur, yaitu:
Kesatu,
rumusan negara mengenai cita-cita,
tujuan dan hal-hal yang berkaitan cara pencapaiannya, selain mengenai simbol,
lambang, batas dan letak negara :
Kedua,
hal-hal yang berkaitan dengan hak dasar atau prinsip hak asasi manusia yang
menjadi hak dari setiap warga negara yang
wajib dilindungi oleh negara ;
Ketiga,
pokok pikiran dan perumusan mengenai sistem hukum, sistem kekuasaan dan
pemerintahan, faham demokrasi serta sistem dan mekanisme check and balances kekuasaan;
Keempat,
pengaturan mengenai organ, peran dan lingkup kewenagnan dari instrumen
kekuasaan. Oleh karena itu akan dirumuskan apa saja tugas dan wewenang suatu
lembaga negara, bagaimana mekanisme dan tata hubungan antara suatu organ dengan
instrumen lainnya dalam membentuk sistem kekuasaan;
Kelima,
prosedur atau tatacara dan mekanisme yang mengatur hubungan, pelaksanaan dan
pengusahaan hal penting tertentu di dalam seperti: pengelolaan sumber daya alam
dan mengatur mekanisme pemilihan kepala pemerintahan;
Di
dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 telah dikemukakan secara tegas seperti tersebut pada Pasal 1 ayat (3)
menyatakan ”Negara Indonesia adalah Negara
hukum” dan Pasal 1 ayat (2) menyatakan “kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Negara
hukum yang didasarkan atas kedaulatan
rakyat tersebut adalah dasar suatu sistem dari pemerintahan Negara Republik Indonesia yang mempunyai tujuan
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan… dan keadilan sosial…” sesuai dengan pembukaan konstitusi.
Uraian
di atas hendak menegaskan, negara hukum didasarkan pada kedaulatan rakyat dan
ditujukan untuk kepentingan perlindungan segenap bangsa serta mewujudkan kesejahteraan.
Konsep, kerangka teoritik, serta prinsip Negara hukum yang antara lain
meliputi; asas legalitas, persamaan dalam hukum, pembatasan kekuasaan,
perlindungan hak asasi, peradilan yang bebas dan tidak memihak seyogianya
ditujukan untuk melindungi kepentingan rakyat.
Pada
konteks itu, organ kekuasaan, termasuk kekuasaan kehakiman tidak hanya
dipersyaratkan harus merupakan kekuasaan yang bebas dan tidak memihak saja,
tetapi harus berpihak dan bertujuan untuk melindungi kepentingan dari rakyat
sang pemilik kedaulatan. Montesqueiu sebagai French Jurist di dalam The Spirit of the Laws mengemukakan ide constitutionalism yang dihubungkan the separation of powers dalam kaitannya
dengan kekuasaan kehakiman menyatakan “ …
the judiciary should be independent of the legislature and executive …”(MJC
Vile,1967:9)
2.2. Reformasi Konstitusi
Jika
dilakukan analisa dalam perspektif sejarah ada 3 (tiga) gelombang perubahan
konstitusi yang pernah terjadi dalam pembentukan konstitusi di dunia, yaitu
misalnya :
1. Pada
periode kolonialisme. Pada kurun waktu tersebut, kekuatan dan sistem kekuasaan
dari negara jajahannya untuk menggunakan
hukum yang berasal dan berpihak pada kepentingan penjajah. Inilah periode awal
perubahan hukum di sebagian besar negara jajahan pada periode zaman penjajahan.
Pada masa itu, tata hukum dan tata hubungan antar warga negara dilakukan dengan menggunakan sistem dan hukum
kekuasaan dari penjajah. Negara yang dijajah dipaksa untuk tunduk di bawah
aturan konstitusi penjajah yang sebagiannya diatur secara eksepsional. Hak “bumiputera”
berbeda dengan warga Negara Belanda
ataupun kaum ningratnya.
2. Pada
dekade sekitar tahun 1940 an. Pada periode ini terjadi perlawanan dari Negara jajahan untuk membebaskan diri dari kekuasaan
penjajah mulai terjadi dan sebagiannya berhasil mendeklarasikan pembebasannya
menjadi Negara yang merdeka.
3. Pada
periode tahun 1990 an. Pada kenyataannya, di sebagian besar Negara yang semula berhasil membebaskan dirinya dari
kekuasaan kolonialisme secara perlahan berubah menjadi Negara yang otoriter. Para penguasa yang semula
diberikan mandat untuk menjalankan kekuasaan demi dan untuk sepenuh-penuhnya
kepentingan rakyat telah menjadi kekuasaannya itu untuk kepentingan sendiri dan
atau bersama kelompoknya saja. Penguasa dimaksud telah memegang kekuasaan
selama 2 hingga 4 dekade serta mereka telah memberikan justifikasi munculnya
gerakan–gerakan sosial yang mempunyai tuntutan untuk membebaskan masyarakat
dari kekuasaan otoriter. Negara yang mengalami revolusi dimaksud biasanya
melakukan perubahan yang signifikan di dalam menata sistem kekuasaanya melalui
perubahan konstitusi.
Di
dalam sejarah ketatanegara an Indonesia, setidaknya ada 2(dua) periode
perubahan konstitusi, yaitu: pertama perubahan konstitusi pasca kemerdekaan, di
sepanjang periode Orde Lama dan sebelum masa Orde baru. Konstitusi dimaksud
adalah UUD Republik Indonesia Tahun 1945
yang kemudian diganti dengan UUD Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya
diubah dengan UUD Sementara Republik Indonesia, dan pada akhirnya kembali lagi
ke UUD Republik Indonesia Tahun 1945; kedua, perubahan konstitusi di akhir
periode Orde Baru dan/atau di awal periode Orde Reformasi. Ada sekitar 4
(empat) kali amandemen, yaitu pada tahun 1999 hingga tahun 2002. Konstitusi
hasil amandemen dimaksud yang hingga kini menjadi dasar Negara yang biasa disebut sebagai UUD Republik
Indonesia Tahun 1945.
Di
dalam perspektif lainnya, konstitusi Indonesia dapat dikualifikasi sebagai rigid constitution karena “wholly”
unamandable. Lebih-lebih bila dikaitkan
dengan adanya pembukaan konstitusi atau hal tertentu dan/atau prosedur
perubahan konstitusi diatur sedemikian sulitnya. Konstitusi Indonesia yang
sangat “pendek” karena memuat 37 buah pasal saja, kendati pasca amandemen
berubah menjadi 81 pasal ditambah 3 pasal aturan peralihan dan 2 pasal aturan
tambahan, bila dibandingkan dengan Konstitusi India yang memuat sekitar 400-an
pasal.
2.3. Perubahan Konstitusi dan
Reformasi di Bidang Kekuasaan Kehakiman
Perubahan
konstitusi biasanya mempunyai pengaruh terhadap pola hubungan kekuasaan di
antara organ kekuasaan, termasuk kekuasaan kehakiman, secara umum, suatu
konstitusi memuat prinsip yang menolak pemusatan kekuasaan. Pada konteks
perubahan konstitusi di Indonesia seperti telah diuraikan di atas sesungguhnya
perubahan dimaksud mempunyai pengaruh dan kaitan erat dengan sistem kekuasaan
kehakiman.
Uraian
di bawah ini akan menjelaskan pengaruh dan kaitan erat antara perubahan
konstitusi dengan sistem kekuasaan kehakiman melalui kajian pada rumusan yang
tersebut dalam UUD Republik Indonesia Tahun 1945 sesudah dan sebelum amandemen
dihubungkan dengan ajaran Trias Politika. Analisis juga mengkaji, apakah sistem
kekuasaan di Indonesia menganut pemisahan kekuasaan ataukah pembagian
kekuasaan. Berdasarkan telahaan tersebut baru kemudian akan dihubungkan dengan sistem
kekuasaan kehakiman
Ada
2 (dua) perdebatan utama dalam kaitan antara UUD 1945 dengan Trias Politika.
Sebagian kalangan menyatakan bahwa UUD 1945 tidak menganut sistem Trias
Politika karena pada dasarnya organ negara tidak hanya meliputi legislatif, eksekutif dan
yudikatif saja. UUD 1945 sebelum amandemen juga mengenal organ negara yang
biasa disebut sebagai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Pertimbangan
Agung (DPA).
Pasca
reformasi dan seperti tersebut di atas di dalam amandemen konstitusi dalam UUD
1945, kini ada beberapa organ negara lainnya seperti suatu lembaga bank
sentral. Suatu komisi pemilihan umum, alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban
dan alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
Ada
pendapat lainnya yang menyatakan, rumusan UUD 1945 dapat dikualifikasikan
menganut ajaran Trias Politika, karena organ negara yang terpenting hanyalah
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Organ negara lainnya tidak disebut sebagai organ negara utama sehingga UUD 1945 dikualifikasikan
sebagai menganut ajaran Trias Politika.
Pasca
amandemen UUD 1945, lembaga legislatif tidak hanya meliputi : Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saja tetapi
Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Lembaga Yudikatif tidak hanya menyebutkan kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan sebuah Mahkamah Konstitusi
serta adanya lembaga yang disebut sebagai Komisi Yudisial.
Kendati
tidak menjadi salah satu perdebatan utama tetapi acapkali diajukan pertanyaan,
apakah sistem kekuasaan di Indonesia menganut sistem kekuasaan yang didasarkan
pada pembagian kekuasaan, ataukah pemisahan kekuasaan. Secara umum, ahli tata Negara
di Indonesia menganut pendapat yang
menyatakan bahwa sistem kekuasaan di Indonesia seperti dirumuskan di dalam
konstitusi adalah pembagian kekuasaan.
Jika
pendapat di atas dikaitkan dan diletakkan dengan dan dalam konteks kekuasaan
kehakiman maka akan timbul pertanyaan, apakah kekuasaan Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi adalah kekuasaan yang didasarkan atas pembagian kekuasaan
ataukah kekuasaan yang terpisah dari kekuasaan lainnya.
Pada
UUD Tahun 1945 sebelum amandemen dikemukakan “kekuasaan kehakiman dilakukan
sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”.
Lebih lanjut dikemukakan “susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu
diatur dengan undang-undang.
Ketentuan
pasal di atas hanya menjelaskan, siapa yang menjalankan kekuasaan kehakiman
dengan tetap membuka peluang adanya lembaga lain yang juga dapat menjalankan
kekuasaan kehakiman. Selain itu, rumusan pasal di atas tidak secara tegas
mengatur dan menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang
terpisah dari kekuasaan lainnya karena susunan dan kedudukannya diserahkan
pengaturannya dengan undang-undang.
Pada
situasi sedemikian, eksekutif dan legislative mempunyai potensi dan memiliki
keleluasan untuk menafsirkan dan merumuskan kekuasaan kehakiman menurut interpretasinya
sendiri dan/atau kekuasaan kehakiman yang berpihak pada kepentingannya sendiri.
Ada
perbedaan yang cukup tegas jika membandingkan rumusan pasal kekuasaan kehakiman
menurut UUD Tahun 1945 dengan konstitusi pasca amandemen. Rumusan pasal yang
dikemukakan di dalam UUD Tahun 1945 pasca amandemen menyatakan secara tegas
“kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Pasal
dimaksud menjelaskan sifat dan tujuan dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,
yaitu kekuasaan yang merdeka guna menegakkan hukum serta keadilan. Frasa kata
“kekuasaan yang merdeka” dalam pasal tersebut memperlihatkan dan sekaligus
menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah suatu kekuasaan yang terpisah dari
cabang kekuasaan lainnya.
Pasal
24 ayat (2) juga telah mengemukakan, siapa penyelenggara kekuasaan kehakiman
karena pasal dimaksud menyatakan, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Penyebutan
yang tegas tentang siapa penyelenggara kekuasaan kehakiman membuat kejelasan,
siapakah lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, kendatipun demikian,
konstitusi juga menyatakan “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.
Frasa
seperti dikemukakan di atas menarik jika dikaitkan dengan Komisi Yudisial yang
dikemukakan secara eksplisit di dalam Pasal 24B UUD Tahun 1945. Tugas wewenang
komisi mempunyai hubungan dan berkaitan erat dengan lembaga yang menjalankan
kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada
di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi, tugas dan wewenang dimaksud adalah:
kesatu, mengusulkan pengangkatan hakim agung; dan kedua, menjaga dan menegakkan
kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Pertanyaan
yang perlu diajukan untuk mendapatkan kajian, apakah Komisi Yudisial dapat
dikualifikasikan sebagai salah satu badan dari kekuasaan kehakiman? Ketentuan
yang mengatur perihal Komisi Yudisial berada di dalam Bab IX, kekuasaan
kehakiman UUD Tahub 1945; ataukah Komisi Yudisial adalah sebuah badan yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sesuai dengan rumusan
wewenangnya seperti telah dikemukakan di atas.
Jika
diasumsikan bahwa Komisi Yudisial sebuah badan yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman dengan wewenang tertentu, pertanyaan lainnya yang perlu diajukan,
apakah konstitusi memberikan legitimasi pada undang-undang untuk merumuskan
tata cara dan mekanisme kerja pelaksanaan wewenang tersebut di dalam suatu
undang-undang?.
Pada
Pasal 24B ayat (4) UUD Tahun 1945 dikemukakan “susunan, kedudukan dan
keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang”. Jika berpijak secara rigid dari apa yang dikemukakan di dalam
konstitusi maka pasal dimaksud menjelaskan bahwa apa yang perlu dirumuskan di
dalam sebuah undang-undang berkaitan dengan Komisi Yudisial adalah mengenai
susunan, kedudukan, dan keanggotaan komisi tetapi dikemukakan agar diatur hal
yang berkaitan dengan tata cara dan mekanisme kerja serta pelaksanaan wewenang
komisi atau mengenai hal lainnya di dalam suatu undang-undang.
Jika
interpretasi rigid yang sangat legalistic itu digunakan maka Komisi
Yudisial tidak dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya karena konstitusi tidak
cukup mengatur pelaksanaan tugas dan
wewenang komisi. Seyogianya ada undang-undang yang mengatur tata cara,
mekanisme pelaksanaan tugas, dan wewenang komisi Yudisial
2.4. Gagasan Perubahan Konstitusi
dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman
Kendatipun
telah dilakukan perubahan yang cukup signifikan dalam pengaturan hal ikhwal
kekuasaan kehakiman di dalam UUD 1945 pasca amandemen, masih ditemukan beberapa
hal lainnya yang dapat mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya kekuasaan
kehakiman secara terhormat dan bermartabat dengan akuntabilitas yang tinggi.
Publik
telah mengetahui dan maklum bahwa pada era orde lama dan orde baru ada masalah
utama yang dihadapi oleh kekuasaan kehakiman berkenaan dengan intervensi
kekuasaan dan kepentingan politik serta
eksekutif. Intervensi tersebut dimaksud dilakukan melalui:
Kesatu, kedudukan mahkamah
ditempatkan sebagai bagian dari instrumen kekuasaan politik Orde Lama untuk
menjalankan politik “revolusioner” dari kekuasaan.;
Kedua, pada era Orde Baru, mahkamah
tidak lagi secara eksplisit mejadi bagian dari kepentingan tetapi ada “konflik
politik” terhadap tugas dan wewenang mahkamah. Kontrol dimaksud antara lain
meliputi: mekanisme rekruitmen hakim agung, pemilihan dan pengangkatan ketua
mahkamah, kontrol eksekutif atas promosi dan mutasi para hakim di lingkungan
mahkamah, politik anggaran yang disusun dan dirumuskan dengan campur tangan
yang cukup intensif dari birokrasi pemerintahan;
Pasca
Orde baru, masalah utama seperti diuraikan di atas tidak lagi sepenuhnya dapat
didesak kepada mahkamah karena adanya rumusan pasal di dalam konstitusi yang
cukup tegas yang menyatakan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan. De
facto, Mahkamah Agung pada saat ini sudah; kesatu, dapat melakukan promosi
dan mutasi secara mandiri tanpa campur tangan lagi dari birokrasi; kedua, Ketua
dan Wakil Ketua Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh
hakim agung dan hakim konstitusi sendiri; ketiga, mahkamah dapat menyusun dan
merumuskan secara mandiri anggaran yang diperlukan untuk menjalankan tugas,
fungsi dan wewenangnya.
Kendati
ada perubahan yang menjaga dna mewujudkan eksistensi dan prinsip dasar
kekuasaan kehakiman, publik masih merasakan adanya fakta yang memperlihatkan,
kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya menjadi terhormat, bermartabat dan
mempunyai standar kinerja dengan akuntabilitas yang tinggi.
Tentu
saja, pendapat publik tersebut tidak dapat menafikkan berbagai upaya yang terus
menerus dilakukan oleh mahkamah dan jajarannya. Ada beberapa fakta yang
senantiasa diajukan oleh sebagian publik untuk mendukung alas an dan
argumentasi tuntutannya yang secara sepihak , yaitu dengan menyatakan antara
lain :
1.
Peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan belum sepenuhnya dapat diterapkan secara
absolute. Tunggakan perkara belumd apat diselesaikan secara tuntas, di samping
begitu banyaknya jumlah perkara yang diterima oleh Mahkamah Agung untuk
diselesaikan, fakta berbanding terbalik dengan proses yang terjadi di Mahkamah
Konstitusi yang sudah menerapkan prinsip sederhana, cepat dan biaya ringan
dalam menangani perkara-perkara yang menjadi tugas dan wewenangnya.
2.
Publik
belum secara luas bias mendapatkan informasi terhadap proses dan tahapan
peradilan dari suatu perkara yang diajukannya, khususnya di tingkat banding dan
kasasi. Tidak jelasnya tahapan proses dan waktu penyelesaian perkara membuat
pra justiabel menjadi “gamang” dan bertanya-tanya, apakah kasusnya sedang atau
sudah ditangani oleh pengadilan, baik di tingkat banding mauapun kasasi. Di
sisi lainnya mahkamah juga telah mengeluarkan Surat Edaran yang mengatur
tentang akses informasi;
3.
Proses
peradilan yang memungkinkan belum dapat diwujudkan peradilan yang bersih dengan
akuntabilitas yang tinggi. Pada saat ini, mahkamah dan pengadilan di bawahnya
mempunyai keleluasan untuk menggunakan kewenangannya secara bebas.
Indenpendensi yang absolute tanpa disertai konroll yang baik tidak akan
menghasilkan akuntabilitas, bahkan potensial memunculkan potensi abuse of power. Secara umum hendak
dikatakan bahwa hal yang paling subtil
dari kekuasaan kehakiman adalah adanya jaminan kekuasaan yang merdeka dalam
menjalankan kekuasaan peradilan. Tidak ada kekuasaan kehakiman jika
independensi dalam menjalankan wewenangnya “dirampok” atau mudah diintervensi.
Periode Orde lama dan Orde baru menjadi pelajaran penting ketika kekuasaan
revolusi dan/atau Presiden punya kekuasaan untuk menentukan siapa yang dapat
menjadi hakim agung dan ketua mahkamah agung.
4.
Ada
beberapa putusan pengadilan yang mendapat sorotan publik karena bertentangan
dengan rasa keadilan masyarakat. Bandingkan saja, putusan yang menyangkut nenek
Minah, Jaksa Esther yang menggelapkan barang bukti narkoba dan putusan Gayus
Tambunan.
5.
Adanya
sinyalemen yang diajukan aktivis anti korupsi yang mensinyalir adanya tendensi
putusan pengadilan dalam kasus-kasus korupsi yang hukumannya ringan dan bahkan
sebagiannya dibebaskan. ICW merilis berita bahwa putusan dengan hukuman
percobaan, sanksinya ringan dan malah dibebaskan.
Berbagai
uraian yang dikemukakan di atas memperlihatkan tantangan lain yang kini muncul
yang ditenggarai dapat mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya kekuasaan
kehakiman secara terhormat dan bermartabat dengan akuntabilitas yang tinggi
guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pada
akhirnya, tantangan dimaksud muncul dari berbagai fakta dalam penerapan
kekuasaan kehakiman telah dinilai masyarakat bahwa peradilan belum sepenuhnya
dapat ditegakkan sesuai dengan tujuan dari kekuasaan kehakiman yaitu menegakkan
hukum dan keadilan.
Jika
fakta di atas dikaji secara mendalam maka perlu diajukan suatu pertanyaan
kritis, apakah fakta penerapan proses peradilan di ats adalah problem
penegakkan hukum dan tidak berkaitan langsung dengan rumusan pasal yang telah
dikemukakan di dalam UUD Tahun 1945 pasca amandemen?
Begitupun
halnya dengan adanya fakta yang menegaskan, independensi yang absolut ternyata
potensial menciptakan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power seperti telah dikemukakan di atas.
Ketidakprofesionalan, kesengajaan melakukan tindakan koruptif, dan
kesewenang-wenangan dapat berlindung di balik independensi sehingga tidak hanya
merugikan para justiabel saja, tetapi juga merusak martabat dan kehormatan
hakim dan kekuasaan kehakiman itu sendiri.
Itu
sebabnya pertanyaan yang perlu diajukan dengan adanya diskursus publik dan
adanya tuntutan yang kian menguat, apakah indenpendensi harus dilekatkan dan
diletakkan juga dalam prinsip akuntabilitas sehingga kekuasaan kehakiman
seyogianya sebagai kekuasaan yang merdeka dan akuntabel.
Indenpendensi
harus ditegakkan sebagai satu sisi koin mata uang yang disertai akuntabilitas
pada sisi lainnya. Hal ini dimaksudkan agar independensi yang disertai
akuntabilitas dapat secara signifikan meminimalisasi suatu potensi yang menyebabkan
terjadinya anarkisme dan tindakan koruptif.
III.
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan
seluruh uraian di atas, maka dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut :
1.
Indonesia
telah beberapa kali mengalami perubahan konstitusi dan di setiap perubahan
konstitusi dimaksud terjadi perubahan perumusan pasal yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari fakta perubahan
pasal dan bagian kekuasaan kehakiman antara yang dirumuskan di dalam UUD Tahun
1945 sebelum amandemen dan pasca amandemen.
2.
Perubahan
rumusan Pasal 24, Pasal 24B dan Pasal 24C memperlihatkan adanya perbaikan
rumusan pasal yang mempunyai tujuan untuk menjadikan kekuasaan kehakiman
sebagai kekuasaan yang merdeka dengan tujuan menegakkan hukum dan keadilan;
Perbaikan
lain yang dirumuskan dalam UUD 1945 meliputi: kesatu, menjelaskan siapa saja
yang melakukan kekuasaan kehakiman; kedua, apa saja wewenang dari Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial; ketiga, hukum acara dari
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi juga diminta untuk diatur di dalam suatu
undang-undang.
3.2. Saran
Berdasarkan
seluruh uraian di atas maka ada kebutuhan untuk meningkatkan kualitas kekuasaan
kehakiman. Salah satu cara yang tersedia adalah melakukan amandemen konstitusi
dan untuk itu diusulkan beberapa hal, yaitu :
1.
Konstitusi
harus merumuskan secara tegas dan jelas prinsip akuntabilitas. Prinsip dimaksud
menjadi prinsip yang sangat penting dalam menjalankan kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan prinsip dasar dalam menjalankan kekuasaan kehakiman karena
penyelenggaraan pemilu saja seseuai konstitusi harus dilakukan secara jujur dan
adil secara langsung, umum, bebas dan rahasia apabila melaksanakan kekuasaan
kehakiman;
2.
Komisi
Yudisial dalam sistem kekuasaan kehakiman. Apakah Komisi Yudisial hendak
diletakkan sebagai salah satu badan dari kekuasaan kehakiman yang menjalankan
fungsi pengawasan, selain tugas dan wewenang lainnya yang dirumuskan; ataukah,
Komisi Yudisial hanyalah sebuah badan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
saja;
3. Konstitusi seyogianya mengatur
prinsip mekanisme pelaksanaan wewenang dari lembaga yang berda di dalam
kekuasaan kehakiman, yaitu di antara Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Yudisial. Misalnya saja, apakah Komisi Yudisial juga punya wewenang
untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat dan perilaku hakim konstitusi; dan apakah pelaksanaan
wewenang Komisi Yudisial di atas hanya dengan fokus di bidang etik dan perilaku
yang tidak berkaitan langsung dengan pelaksanaan kewenangan mengadili ataukah
pada hal-hal tertentu dapat “masuk”.
DAFTAR
BACAAN
Carl Schmitt, Constitutional Theory, Duke University
Press, 2008
Eric Barendt , An
Introduction to Constitutional Law, Oxford University Press Inc,1998.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
Konstitusi Press, 2005
Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional, Kuasa Konstitusi, KRHN,
2004.
Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia: Sejak
Proklamasi hingga Reformasi, Grafitri, 2004.
Larry Alexander (ed), Constitutionalism: Philosohical Foundations,
Cambridge University Press, 1998, First Published.
MJC Vile, Constitutionalism and Separation of Powers, Oxford, 1967
Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945.