twitter


Proses nasionalisasi setakat ini belum selesai, namun proses baru yang dikenali sebagai proses globalisasi sudah memasuki ambang pintu.  Ini suatu proses yang lebih berhakikat sebagai proses ekonomi dan sosial kultural daripada sebatas proses politik, nota bene proses politik yang diilhami oleh semangat dan paham nasionalisme, dengan cita-citanya yang tak mau ditawar untuk mewujudkan kesatuan bangsa di bawah kontrol  kepemimpinan yang berlegalitas kuat.  Akan tetapi, kini kenyataan telah kian menjadikan cita-cita seperti itu bagaikan ilusi belaka.  Kini, perkembangan kehidupan tidak lagi berhenti pada jalannya proses integrasi komunitas-komunitas lokal ke satuan-satuan nasional, melainkan bersiterus ke prosesnya yang kian berlanjut. 
            Apabila sampai abad yang lalu proses yang berlangsung dikatakan sebagai proses perkembangan from old societies to a new state, kini dalam perkembangan awal millennium ketiga Masehi yang tengah berlangsung adalah proses perkembangan from nation states to a borderless global world.  Kehidupan telah kian marak dalam format-formatnya yang global, seolah menawarkan alternatif baru yang tak cuma mengatasi aspek-aspek kehidupan – juga kehidupan berhukum-hukum -- yang nasional, melainkan juga yang bersebalik untuk memarakkan kehidupan yang global, bahkan juga yang seakan-akan hendak menebarkan sekian banyak enclave lokalisme di mana-mana.
            Dalam suasana kehidupan yang kian terasa menuju ke suasana one world, different but not divided dewasa ini, terjadilah suatu paradoks bahwa yang lokal tak akan kunjung terancam mati (sebagaimana yang terkesan akan terjadi demikian dalam suasana yang nasional dan modern, yang ditengarai berwatak anti-tradisi dalam  prakteknya), melainkan hidup kembali, bahkan menguat, untuk koeksis secara dominant sebagai alternatif yang dapat pula dipilih dalam kehidupan yang dewasa ini nyatanya telah “kian mengglobal”.  Inilah bagian dari konsep global paradox yang menyatakan bahwa kian bernuansa global kehidupan ini, akan kian signifikan kehidupan-kehidupan yang berbasis lokal itu.[1] Robertson menyebut gejala perkembangan yang seperti ini dengan istilah glocalization.[2] 
            Tatkala terbukti bahwa selama ini modernisme -- dan dengan demikian juga hukum nasional yang konon modern itu -- tak kunjung mampu “melebur” eksistensi yang lokal-lokal untuk diintegrasikan ke dalam satuan nasional yang tunggal dan sentral, perubahan masih terus berlanjut ke bentuknya yang baru, dalam wujud satuan global yang tak lagi mengenal perbatasan,[3] dalam banyak ruang permasalahan.[4]  Kehidupan nasional di manapun, baik yang menyatukan manusia-manusia yang terbilang ‘bangsa tua’ yang muncul dalam sejarah sebagai bangsa penj(el)ajah maupun yang terbilang ‘bangsa muda’ yang terj(el)ajah(i), kini ini telah terkocok ulang dalam suatu situasi kekisruhan, chaos, yang namun begitu bolehlah tetap direspons secara optimistik sebagai suatu proses yang secara progresif menuju ke bentuk-bentuknya yang baru, yang menyebabkan system kehidupan menjadi lebih fungsional, kalaupun tak lebih baik apabila dipandang dari perspektif moralitas.[5] 
            Menjelang datangnya millennium ketiga Masehi, isu-isu yang banyak diperbincangkan tidak hanya permasalahan legal gaps dengan upaya-upaya untuk mengatasinya, melainkan terbitnya banyak keyakinan bahwa perbedaan dan diferensiasi kultural sudah harus diterima sebagai sesuatu yang tak bisa dihindari.  Usaha untuk meniadakan perbedaan dan mengunifikasikannya ke dalam standar-standar perilaku yang satu akan sia-sia belaka. Di negeri-negeri dengan bangsa-bangsa tua yang semula amat homogen, sebagaimana yang selama ini tersimak di kawasan negeri-negeri Barat, bahkan kinipun telah terproses ke situasi heterogen, dengan enclave-enklave lokalisme yang eksklusif.  Migran-migran dari Turki dan Maroko yang memasuki Negeri Belanda membangun kominitasnya sendiri yang tak saling berbaur, bahkan juga tak berbaur – dengan standar perilakunya sendiri yang berlegitimitas Islam – dengan masyarakat mayoritas yang menuanrumahi mereka. Di kota-kota besar Amerika Serikat, orang-orang berkulit hitam yang miskin, sekalipun bukan migrant-migran melainkan urbanis-urbanis, telah membentuk enclave-enklave juga yang kian diwarnai tribalism.  Demikian pula kenyataannya yang terlihat di Perancis dan di negeri-negeri lain di Eropa Barat yang kian bersifat multikultural dan multirasial.[6]    
            Dalam kehidupan berskala global dewasa ini, yang akan terwujud adalah suatu global society yang justru tak akan bergerak ke suatu keseragaaman.  Global society bukanlah suatu global state yang terkontrol secara sentral.  Global state lebih tepat kalau dikatakan sebagai “masyarakat pasar” yang boleh juga disebut a global economy.  Global society menyaksikan terbebaskannya jutaan manusia dari ikatan-ikatan aturan hukum nasional yang pada waktu yang lalu dikembangkan sebagai mekanisme kontrol di tangan sentral penguasa-penguasa negara.  Sementara itu, perkembangannya sebagai global economy telah membuka berbagai perbatasan negeri, yang akan melalulalangkan manusia (yang produsen ataupun yang konsumen), kapital , dan informasi melintasi perbatasan-perbatasan yang territorial maupun yang kultural.  Dalam hubungan ini, mengingat kebenaran apa yang disimak dan dikatakan Naisbitt bahwa “the bigger the economy, the more powerful its smallest players … to create the new rules for the expanding global economic order”,[7] maka di tengah sistem ekonomi yang kian mengglobal dan tiadanya global state yang memegang kekuasaan pengatur yang sentral ini akan terjadilah otonomi pengaturan pada skalanya yang mikro, "untuk kalangan sendiri".
            Di sini hukum serba baku, yang dibuat oleh kekuasaan-kekuasaan sentral, boleh diduga – sekalipun dalam rentang waktu yang tak mudah dikatakan – akan kian berkurang, sedangkan kesempatan-kesempatan kontraktual de novo, khususnya antar-aktor yang bukan negara (non-state actors), akan lebih banyak terjadi.  Kalaupun kemudian terjadi silang sengketa dalam hubungan kontraktual yang tak bersanksi hukum negara itu, penyelesaian akan dilakukan lewat apa yang disebut alternative dispute resolution, mulai dari yang bermodel renegosiasi atau mediasi sampaipun ke yang disebut arbitrasi.  Alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti ini mulai banyak dipilih daripada penyelesaian-penyelesaian adjudikatif lewat litigasi-litigasi di badan-badan peradilan nasional.  Cara adjudikasi lewat badan-badan peradilan, yang acap kental dengan berbagai acara yang serba formal dan prosedural, lagi pula banyak makan waktu.boleh diduga akan banyak mundur, untuk pada akhirnya digantikan oleh cara-cara penyelesaian yang lebih luwes
            Tidak hanya dalam ihwal kontrak-kontrak niaga di ranah ekonomi pasar kecenderungan perkembangan yang dipaparkan di muka ini amat nyatanya.  Dalam kehidupan di ranah sosial dan kultural, kecenderungan untuk menjauhi penyelesaian lewat intervensi badan-badan resmi negara nasional akan pula amat nyatanya.  Renegosiasi, mediasi, konsultasi untuk mencapai perdamaian akan kian dipilih berdasarkan motif dan itikat baik.  Dewasa ini, dalam kehidupan pada tataran global yang semakin dikuasai fakta pluralisme, setiap warga yang tengah berurusan dengan hukum akan selalu menemukan dirinya dalam suatu kancah, di mana lebih dari satu sumber hukum bisa berlaku bagi dirinya.  Kini ini, suatu persoalan hidup yang dipandang relevan sebagai urusan hukum tak hanya akan menjadi objek aturan hukum negara, tetapi juga akan diintervensi oleh berbagai macam norma lainnya, mulai dari yang moral dan tradisi setempat sampaipun ke yang konvensi dan kovenan internasional.
            Dalam situasi seperti itu, seseorang individu ataupun sekelompok individu yang teremansipasi dan berposisi sebagai aktor itulah yang akan kian menentukan pilihannya secara otonom, manakah dari sekian rujukan standar perilaku yang mereka ketahui yang -- berdasarkan pertimbangannya yang subjektif namun rasional -- akan mereka ambil sebagai dasar pembenar tindakan hukumnya.[8]  Para pejabat hukum yang berkedudukan resmi dalam suatu struktur kekuasaan negara atau antar-negara boleh saja mempunyai maksud dan mengukuhi kebijakannya, akan tetapi para warga yang berkepentingan itulah yang nanti, secara individual maupun secara kolektif,  akan berkuasa melakukan interpretasi untuk kemudian menentukan pilihan dan tindakannya berdasarkan hasil interpretasinya yang rasional.[9].



[1]  Inilah yang disebut global paradox oleh John Naisbitt.  Baca; John Naisbitt, Global Paradox (New York: Ayon Books, 1990.  Dikatakan oleh Naisbitt dalam buku ini, antara lain, bahwa “the bigger the world economy, the more powerful the smallest players” (hlm. 5); dan bahwa “the bigger the syatem, the more efficient must be the parts” (hlm. 8).  Kalaupun paradoks yang ditunjukkan Naisbitt ini tidak berkenaan langsung dengan ihwal kehidupan sosial dan hukum, namun dalil-dalilnya dapatlah “dilompatkan” secara analogik untuk menjelaskan perkembangan mutakhir dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berhukum-hukum..
[2]  Roland Robertson, “Globalization Or Glocalization”,  Journal of International Communication Th. I (1994), no. 1, yang dikembangkan lebih lanjut untuk dimuat dalam Mike Featherstone, dkk. (ed.), Global Modernities (London: Sage Publication, 1995), bab 2 dengan judul “Glocalization: Time-Space And Homogeneity-Hetrogeneity”.  baik juga dibaca:  Jonathan Friedman, Cultural Identity And Global Process (London: Sage Publications, 1995), khususnya Bab 7 di hlm. 102-116 tentang “Globalization And Localization”.  
[3]  Keinichi Ohmae, The Borderless World: Management Lessons In The New Logic Of The Global Marketplace (New York:    1990).
[4]  Appadurai menyebut 4 ruang permasalahan, ialah apa yang ia sebut ethnoscape, mediascape, technoscape, financescape, dan ideoscape, yang keempat-empatnya, oleh sebab migrasi-migrasi penduduk, persebaran informasi,  mengalami “cultural confusion, even cultural chaos, A. Appadurai, “Disjuncture And Difference In The Global Cultural Economy” dalam Mike Featherstone (ed.), Global Culture: Nationalism, Globalization And Modernity (London: Sage Publication, 1990), hl. 293-310.
[5] Francis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature And The Reconstitution Of Social Order (London: Profile Books, 2000), yang dikatakan oleh peresensinya bahwa Fukuyama kali ini tengah menulis “ on the rise and fall – and rise – of social order “ dalam suasana harapan yang diliputi optimisme.  Dengan tesis yang boleh dibilang sama, tetapi dari perspektif yang berbeda, Huntington juga bicara tentang adanya clash tetapi juga adanya the remaking (of World Order), dalam Samuel P. Huntington, The Clash Of Civilization And The Reamaking Of World Order (London: Touchstone Books, 1998).  
[6]  Mathew Horsman dan Andrew Marshall, Op. Cit. 1994), khususnya hlm.171-184 di mana The Breaking Up The Communities diulas dan dibicarakan.
[7] John Naisbitt, Global Paradox., (New York: Avian Books, 1995), hlm. 191dst. 
[8] Paul Berman, “Global Legal Review”, Southern California Review, Th. 80 No. 6, hlm. 1157, yang mengatakan bahwa kini ini “… a single act is potentially regulated by multiple legal regime …”, yang menyiratkan pengakuan bahwa kini ini individu-individu itulah yang sesungguhnya amat bermakna dalam setiap berlangsungnya proses hukum.
[9]  Annabel Patterson, “Intention” dalam Frank Lentricchia dan Thomas McLaughlin (ed.), Critical Terms for Literary Study (Chicago: Chicago University Press, 1990), hlm. 136-138. 

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih, Semoga bermanfaat


Angger Withea. Powered by Blogger.