Di
Indonesia pada waktu yang lalu, para penguasa kolonial – terpaksa atau tidak
terpaksa – telah mengakui dan menerima berlakunya sistem hukum Eropa dan pada
waktu yang bersamaan tertib hukum adat, dengan ruang yurisdiksi masing-masing
yang eksklusif. Hukum Eropa dinyatakan
berlaku untuk penduduk golongan Eropa, sedangkan untuk penduduk golongan
pribumi tetap diakui berlakunya kebiasaan, adat istiadat dan pranata agama
mereka, dengan catatan selama tidak bertentangan dengan apa yang disebut “asas
kepatutan dan adab yang baik”. Semua itu
tersebut dalam pasal 75 Reglemen Tatapemerintahan Hindia Belanda (Indische Regeringsreglement) dari
tahun1854.
Kebijakan dualisme seperti ini
ternyata tak lagi dianut oleh para penguasa pemerintahan nasional Republik
Indonesia.. Revolusi dan transformasi
kehidupan telah dilaksanakan secara menyeluruh, dengan maksud untuk menghapus
sistem hukum kolonial, untuk kemudian membentuk unifikasi hukum nasional yang
baru sebagai gantinya. Pada
era pemerintahan Presiden Soekarno, seruan-seruan anti-kolonialisme kian
lantang disuarakan untuk mendekonstruksi sistem hukum kolonial yang berdasarkan
aturan-aturan peralihan secara formal masih dinyatakan berlaku. Tak
terelakkan lagi, semangat anti-kolonialisme Soekarno ini secara implisit akan
berarti juga semangat anti-dualisme.
Pada zaman pemerintahan Presiden
Soeharto sistem hukum nasional secara sistematis dibangun untuk didayagunakan
sebagai untuk merekayasa berbagai segi kehidupan rakyat, yang sepanjang era
kolonial hampir-hampir tak pernah ditaruh di bawah kontrol aturan-aturan
negara. Kebijakan “pembangunaisme” pada
era Soeharto, yang membenarkan dilancarkannya modernisasi lewat pendayagunaan
hukum undang-undang as a tool of social
engineering,[1] telah menjadikan kebijakan
pemerintah tidak berwajah ramah pada berlakunya hukum rakyat yang tradisional,
yang secara umum dipandang menghalangi terwujudnya signifikansi hukum
undang-undang.
Dalam situasi maraknya semangat
nasionalisme, yang tak jarang bersinergi dengan kekuatan riil kelompok-kelompok
agama yang sektarian, tradisi lokal dan hukum adat yang berakar pada keyakinan
etnik-etnik telah didesak ke pinggir dan
dipaksa bertahan, untuk kemudian hanya sempat berfungsi dalam kehidupan
setempat. Sistem hukum baru dibangun,
walau tak selalu memperlihatkan tanda-tanda keberhasilannya, untuk merekayasa
kehidupan ke bentuknya yang baru dan modern, didasari pertimbangan bahwa hukum
nasional yang baik – dalam hal kebenaran isinya maupun dalam hal kekuatan
penegakannya – akan dapat diterima masyarakat untuk mengubah pola perilakunya
seperti yang diperintahkan oleh hukum perundang-undangan negara..
Namun, ternyatalah kemudian, hukum
nasional yang difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial demi tercapainya
tujuan pembangunan, acapkali sulit dimengerti
dan diterima khalayak ramai.
Dalam situasi seperti itu, khalayak awam kian merasakan bahwa alam
kehidupan mereka tak lagi bersuasana alam kehidupan kedaerahan setempat yang
otonom. Suasana kehidupan nasional merangsek dan merasuk di mana-mana. Urusan-urusan yang harus dikerjakan dan
diselesaikan kian banyak yang mau tak mau menghadapkan mereka yang awam
ini ke instansi-instansi pemerintah dan/atau mengharuskan mereka banyak
berurusan dengan para pejabat negara yang berjuklak aturan-aturan negara. Maka, ini berarti bahwa mereka yang awam, mau
tak mau, harus kian dipaksa untuk menyelesaikan urusan-urusannya dengan merujuk
ke aturan-aturan penertib baru, yaitu hukum nasional, berikut idiom-idiom
bahasa dan hukumnya..
Pengalaman pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk
menyandingkan ‘hukum yang diberi sanksi negara’ dengan ‘hukum adat yang
dianut rakyat’ lewat keijakan dualisme,
yang sedikit banyak boleh dibilang sukses, ternyata tak diteruskan di era
pemerintahan Republik Indonesia.
Dualisme yang mengakui koeksistensi riil antara hukum Barat dan the people’s living lawways, dan pluralisme yang melihat secara riil banyaknya macam
ragam hukum yang sama-sama signifikan dalam kehidupan nasional ini,[2] ternyata tidak
terlintas untuk dipertimbangkan oleh para pemuka Republik. Cita-cita
nasional untuk "menyatukan" Indonesia sebagai satu kesatuan politik
dan di bawah kesatuan pemerintahan yang berhukum tunggal telah mengabaikan fakta
kemajemukan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Alih-alih menjadari dan mempertimbangkan
ulang kebijakan yang ada, justru kebijakan unifikasi hukum itulah yang terus
saja dikukuhi.
Perubahan
yang digerakkan oleh motif-motif politik -- dengan legitimasi hukum
undang-undang – telah mentransformasi kehidupan dari wujudnya sebagai
komunitas-komunitas etnik-lokal yang tradisional ke suatu negara baru yang
tunggal, modern, sentral dan nasional.
Tetapi perubahan transformatif seperti itu bukannya tanpa masalah. Progresi di aras supra yang etatis tak
selamanya dapat diimbangi oleh dinamika perubahan di aras infra yang
populis. Tidak dipahaminya kebijakan dan
isi kandungan hukum undang-undang oleh rakyat awam, yang tersebar-sebar di
berbagai satuan etnik, telah mencerminkan dengan jelas telah terjadinya apa
yang disebut cultural gaps dan legal gaps, bahkan mungkin juga cultural
conflict dan legal conflict. Di sini,
substansi hukum negara dan substansi moral hukum rakyat tidak hanya harus
dikatakan tak berselaras, melainkan amat berselisih dan menghasilkan berbagai gaps, bahkan tak jarang harus dikatakan
secara diametrikal berlawanan, dan hanya memperlihatkan maraknya conflicts saja. Tentang permasalah ini, Bab 07 di muka telah
mengutarakan dan membicarakannya.
Sekalipun dalam pengembangan hukum nasional dewasa ini
pemerintah berposisi ofensif, ditunjang oleh struktur dan personil pemerintahan
atau organisasi eksekutif yang kuat, namun upaya-upaya untuk menekan rakyat
agar segera meresepsi hukum negara, dengan atau tidak dengan ancaman sanksi
(untuk tidak secara berterusan bersikukuh secara konservatif pada hukum
lokalnya saja) tidaklah selalu berjalan dengan mudah. Merekayasa budaya dan mengubah keyakinan
serta perilaku sekelompok warga masyarakat memang merupakan tugas berat dan
berjangka panjang. Kian tak mudah lagi
manakala diingat bahwa semua upaya itu tak cuma bisa dimaknakan sebagai
pekerjaan kehukuman bersaranakan sanksi dan program penyuluhan saja, melainkan
lebih jauh dari itu; ialah serangkaian upaya untuk menumbuhkan identitas baru
di kalangan manusia suku ke identitasnya yang baru manusia yang lebih
berkomitmen pada ide-ide nasional.